Penulis : Agoeng Widyatmoko
Modal bagi sebagian orang memang dianggap sebagai hal yang paling memberatkan. Sebab, dalam pola pikir setiap orang, kata modal selalu diidentikkan dengan uang. Memang benar. Setiap usaha pasti menggunakan uang sebagai salah satu sarana untuk menjalankannya. Tapi, tak mutlak. Bahkan, bisa saja nol modal alias modal dengkul.
Memangnya ada yang bisa benar-benar modal nol? Banyak. Salah satu contoh nyata pernah saya temui dari rekan saya. Tapi, tak perlu lah saya sebut namanya di sini. Dia menjalani fungsi sebagai makelar alias penghubung saja. Modal dia hanya tekad dan kelugasan berbicara untuk meyakinkan pengguna jasanya. Kalau melihat sebuah rumah yang dijual, dia biasanya langsung bergerak cepat menghubungi sang penjual rumah. Dia akan bertanya berapa harganya dan kalau berhasil menjualkan, berapa persen yang masuk sebagai komisi dia. Cara seperti ini berkali-kali berhasil membuatnya menjadi semacam property agent kelas kampung dengan penghasilan istimewa. Sebab, tanpa dirinya harus bergabung dengan berbagai macam property agent yang sudah pasti akan mengurangi komisinya, ia tetap bisa menjadi pemasar properti mumpuni. Dalam satu bulan, ia bisa menjualkan rumah orang paling tidak dua atau tiga rumah. Keuntungannya? Tak perlu saya sebut di sini. Yang jelas, dia bisa menyekolahkan ketiga anaknya di sekolah yang cukup elit, yang menurut catatan saya biayanya cukup mahal.
Saya pun pernah mengalami kasus yang hampir mirip. Modal saya waktu itu hanya meminjam printer teman untuk mencetak beberapa kartu nama saya dengan posisi keren, Managing Director. Terserah saya kan, wong yang bikin saya sendiri, jadi ya maunya saya dong kalau kasih nama dan jabatan sekeren itu. Padahal, selain jadi Managing Director, saya pun merangkap jadi sekretaris, akuntan, hingga office boy, alias semua saya kerjakan sendirian. Tapi, siapa juga sih yang menanyakan jabatan kita saat mendapat kartu nama. Banyak kok orang yang selalu saja langsung percaya pada sebuah status, tanpa pernah mengecek status orang itu sebenarnya.
Nah, dari kartu nama itu, saya mencantumkan salah satu jenis usaha yang saya geluti. Dalam beberapa kali kesempatan, ternyata ada beberapa kenalan baru yang kemudian menghubungi untuk presentasi jasa yang saya tawarkan. Dan, sampai saat ini, dari kartu nama yang cetaknya pun nebeng teman itu, saya bisa mendapat beberapa job besar. Job orderan ini bahkan cukup untuk menggaji beberapa rekan, yang kemudian saya jadikan partner kerja.
Menilik kedua contoh nyata di atas, masih ragukah Anda bahwa banyak usaha yang bermodal dengkul? Tapi oke, kalau masih ragu, baiklah. Kita kembali sejenak ke topik seminar yang saya hadiri saat itu. Ketika muncul sebuah pertanyaan tentang modal yang diajukan seorang ibu, maka kemudian saya coba bertanya kepada orang itu.
"Ibu punya tabungan seratus ribu?"
"Punya Pak," jawab si Ibu.
"Oke. Apa ibu juga punya penggorengan, kompor, dan piring kecil di rumah?"
"Punya Pak. Malah saya kompor ada dua, karena kemarin dapat subsidi kompor gas dari pemerintah," ungkap si Ibu.
"Bagus," jawab saya. "Terus, apakah ibu bisa bikin gorengan?"
"Bisa dong. Pisang goreng saya malah dibilang beberapa orang enak banget. Ketela goreng saya juga pas banget di lidah, kata teman waktu saya masak di arisan rumah."
"Nah. Menurut ibu uang seratus ribu bisa nggak buat bikin gorengan?"
"Bisa!"
"Ya sudah. Masalah modal usaha sudah terpecahkan. Jual saja gorengan."
Ibu itu manggut-manggut mendengar penuturan saya. Ia tak sadar bahwa selama ini gorengannya yang dipuji oleh beberapa rekan bisa jadi sebuah usaha minim modal. Sampai tulisan ini dibuat, saya tidak tahu apakah si Ibu itu jadi menerjuni usaha gorengan. Satu hal yang pasti. Yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah soal modal uang itu sebenarnya faktor kesekian. Dengan tekad, kemauan, kerja keras, keteguhan, keuletan, semua kesulitan untuk membuka usaha, pasti memiliki jalan keluar. Jadi, nggak punya modal? Siapa takuuuut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar