Oleh:
“Cara jualan kamu kuno!” demikian kata seorang pengusaha senior
kepada saya ketika kami sedang berbuka puasa bersama bulan Ramadan lalu.
Saya tergagap. Wah, baru kali ini ada yang mengatakan demikian tentang
model bisnis saya. Tapi berhubung beliau jauh … jauh … jauh … lebih
berpengalaman dibanding saya, dengan usaha yang skalanya ratusan kali
lipat usaha saya, saya tidak punya pilihan lain selain mendengar
kritikan beliau. Saya menahan nafas menunggu kalimat beliau berikutnya.
Beliau menambahkan, “Kalau kamu bisnis IT, nyuruh pelanggan beli produk, itu bisnis jaman dulu.”
Saya mulai paham. Karena beberapa pelanggan saya ada yang memang
menggunakan pola pembayaran bulanan atau sewa. Tidak mau kalah saya
langsung berkomentar, “Kalau sewa atau bayar biaya bulanan bagaimana
Pak?”
Beliau menjawab, “Itu lebih baik. Tapi itu sekarang juga sudah kuno!”
Nah ini bikin saya kaget lagi, “Yang gak kuno gimana dong Pak?”
“Yang gak kuno itu kalau pelanggan gak usah bayar !”
“Nyaris saya lompat dari kursi. Gratis? Musti bayar gaji karyawan dari mana?”
Beliau hanya tertawa-tawa, membuat saya makin penasaran.
Seolah “Law of Attraction” bekerja keras untuk saya. Dua minggu
kemudian tanpa sengaja saya nemu buku baru karya salah satu penulis
favorit saya Chris Anderson, judulnya “Free: The Future of Radical
Price.” Ya, pengusaha senior tadi ternyata benar! Masa depan ternyata
ada pada harga nol, alias gratis. Pelanggan gak usah bayar.
Semua serba gratis
Tidak dapat disangkal, virus gratis memang sudah menjalar kemana-mana.
Kita sekarang bisa dengan mudah mengakses internet di mal melalui
infrastruktur hot-spot gratis. Saya menggunakan laptop dengan OS Linux
Ubuntu yang dibagi-bagikan gratis oleh Canonical, mengetik dengan
word-processor OpenOffice yang disediakan gratis oleh Sun Microsystem,
menggunakan browser Firefox yang gratis, menggunakan layanan
email gratis dari Google, chatting gratis melalui Yahoo Messenger dan
mengakses jaringan seperti Facebook secara gratis. Malah kalau
online-nya di bandara, kopi yang menemani saya online pun gratis, komplimen dari lounge
yang disponsori penerbit kartu kredit yg saya pakai. Chris Anderson
malah mengetik seluruh isi bukunya melalui aplikasi Google Docs, word processing gratis yang disediakan online oleh Google.
Tunggu. Kenapa yang gratis hanya layanan-layanan yang terkait dengan
internet? Oh tidak. Di luar itu Anda juga dengan mudah menemukan produk
atau layanan gratis atau sangat murah. Memang tidak semua sudah tersedia
di negara kita. Beberapa tahun lalu, kalau ingin pasang antena parabola
di rumah, kita harus membayar cukup mahal. Sekarang antena parabola
“dipinjamkan” oleh provider layanan siaran TV melalui satelit. Modem
bisa kita peroleh gratis jika kita berlangganan broadband. Hampir semua penerbit kartu kredit sudah menggratiskan iuran tahunannya. Low cost airlines
telah merevolusi dan mempelopori penjualan tiket pesawat terbang sangat
murah atau bahkan gratis. Di negara-negara maju, daftar produk gratis
ini semakin banyak. Anda dapat memiliki ponsel dengan gratis, tentu
dengan kontrak berlangganan tertentu. Memiliki laptop gratis, dengan
berlangganan akses broadband. Singkat kata semua ada versi
gratis nya, bahkan mobil gratis pun ada. Kalau majalah gratis sudah
sangat biasa, Di Tokyo, malah ada toko yang menyediakan 5 barang gratis
untuk setiap pengunjungnya, mulai dari lilin, mie instan, sampai krim
wajah.
Makan siang gratis memang (pernah) ada
Anda tentu pernah mendengar ungkapan “tidak ada makan siang gratis.”
Ungkapan ini sebenarnya berasal dari jaman koboi di Amerika Serikat.
Pada waktu itu banyak saloon, tempat nongkrong orang Amerika
jaman dulu, yang menyediakan makan siang gratis untuk menarik
pengunjung. Makan siangnya memang benar-benar gratis. Tapi pengunjung
harus bayar mahal untuk yang lain-lain, seperti minuman, permainan
kasino, sewa kamar, dsb.
Bagi-bagi produk gratis juga awalnya dilakukan oleh King Gillette,
pencipta silet cukur pertama di dunia. Jaman dahulu pria bercukur dengan
pisau cukur lipat yang tidak praktis, harus sering diasah, dsb. Ide
menggunakan pisau cukur super tipis yang tidak perlu diasah tapi dibuang
jika sudah tumpul adalah ide baru yang awalnya sulit dipahami. Gillette
pun membagikan secara gratis sebagai marketing gimmick produk
lain, dengan harapan pengguna baru yang menyukai ide ini selanjutnya
akan membeli. Misalnya, bekerjasama dengan bank, pisau baru Gillette
dijadikan bonus bagi pembuka rekening tabungan. Dan Gillette benar,
lambat laun pisau cukur Gillette dikenal dan kemudian mendunia hingga
hari ini.
Jell-O, dessert paling popular di Amerika juga awalnya sulit
untuk dijual. Peter Cooper, penemu makanan dari gelatin ini kesulitan
memperkenalkan produk barunya. Baru setelah produk ini dipasarkan oleh
jenius pemasaran dan orator Francis Woodward, Jell-O menemukan tempatnya
di pasar. Woodward bukan membagikan produk ini secara gratis. Namun
mencetak dan membagikan buku resep gratis untuk memberi ide kepada calon
pelanggan, bahwa Jell-O sangat praktis dan dapat disajikan dengan
berbagai variasi. Woodward yang membeli lisensi Jell-O hanya seharga
$450 sukses besar.
Dari kelangkaan menuju keberlimpahan
Model gratis ala saloon, Gillette, dan Jell-O adalah
model-model gratis abad lalu yang hingga sekarang masih sering
digunakan. Namun, abad 21 telah menciptakan model bisnis gratis baru.
Model bisnis yang digerakkan oleh kemudahan dan teknologi.
Plastik pada awalnya dirancang sebagai produk eksklusif. Riset dan
produksinya memerlukan biaya mahal. Plastik juga lebih kuat dan tahan
lama dibanding kayu. Jadi sudah selayaknya produk dari plastik dijual
mahal. Namun kita lihat hari ini, plastik demikian berlimpah ada
dimana-mana. Plastik pada akhirnya menjadi komoditas yang berlimpah dan
murah.
Barang elektronik modern tumbuh pesat setelah transistor ditemukan.
Pada awalnya transistor adalah barang langka yang mahal. Tahun 1961
harga 1 buah transistor adalah $10. Kurang dari 10 tahun harganya sudah
tinggal 1 sen. Dan hari ini, sebuah microchip yang setara
dengan 2 milyar transistor hanya dijual $300, atau 0.000015 sen per
transistor. Hal yang sama terjadi juga untuk kapasitas penyimpanan disk
dan juga bandwidth, yang semakin lama semakin murah. Inilah
yang kemudian memicu revolusi digital yang mengubah cara pandang
pengusaha dalam mencari revenue.
Ketika sebuah produk telah menjadi komoditi yang “terlalu murah untuk
dihargai,” maka kita tidak lagi bisa mengandalkan harga produk sebagai
sumber revenue kita. Harga sangat terkait dengan kelangkaan, sementara yang kita hadapi adalah keberlimpahan.
Gratis? Dari mana uangnya?
Menjalankan usaha memang tetap harus berorientasi pada profit, yang sumbernya adalah revenue dikurangi cost. Model bisnis gratis pada dasarnya melakukan kreativitas pada sumber revenue, bukan menghilangkan revenue. Jika semula revenue semata dari harga jual, maka dengan prinsip keberlimpahan, kita coba mencari revenue dari sumber lain. Beberapa model bisnis yang ada adalah:
1. Subsidi silang langsung
Ini model generasi pertama. Revenue dari sumber lain memberikan subsidi silang untuk item yang sengaja dibuat lost. Misalnya, gratis ponsel tapi bayar talktime. Gratis antena parabola, bayar biaya langganan. Gratis software, bayar hardware.
Dan sebagainya. Termasuk model bisnis yang digunakan Canonical yang
membagikan OS Ubuntu Linux secara gratis. Software-nya memang gratis,
tapi jika perusahaan kemudian butuh jasa konsultasi, training dan
implementasi Ubuntu resmi dari Canonical, perusahaan tersebut harus
membayar mahal.
2. Subsidi Pihak Ketiga
Ini model bisnis yang digunakan radio, TV dan majalah gratis. Pelanggan
gratis tapi pemasang iklan bayar. Digunakan juga oleh penerbit kartu
kredit yang menggratiskan iuran, tapi memberikan charge yang mahal ke merchant.
Diskotik juga menjadi pelopor model ini melalui program “ladies night.”
Gratis untuk pengunjung wanita tapi pengunjung pria membayar.
3. Freemium
Ini model yang sering digunakan perusahaan konsultan dan teknologi
informasi. Gratis untuk versi yang generik tapi membayar untuk versi
premium. Bisa juga divariasikan dengan modul. Untuk modul terbatas
gratis, modul yang lebih lengkap bayar. Gratis untuk konsultasi awal,
bayar untuk jasa konsultasi yang lebih lengkap. Gratis untuk overview seminar, bayar untuk training yang lebih lengkap.
4. Non-monetary
Ini yang 100% gratis. Jasa yang diberikan sama sekali gratis. Imbalan
yang diterima penyedia jasa adalah perhatian dan reputasi. Dan dengan
reputasi yang semakin meningkat, dikenal dimana-mana, banyak hal yang
bisa dilakukan untuk mendatangkan revenue. Musisi yang
memberikan karyanya secara gratis dan memperoleh reputasi dan perhatian,
dapat menghasilkan revenue dari konser-konser ataupun penjualan
merchandise-nya.
Sebelum menggratiskan jualan Anda
Oke … oke, mungkin kedengarannya masih menakutkan untuk menggratiskan
begitu saja jualan Anda. Memang ada beberapa hal yang harus diperhatikan
sebelum Anda menggratiskan jualan Anda:
Pertama: Sesuaikan dengan model bisnis yang ada sekarang
Anda harus analisa baik-baik dari mana sumber revenue Anda. Secara umum menggratiskan jualan Anda dimaksudkan untuk memperbesar revenue, bukan mengurangi revenue. Kalau Anda jualan baju dan membagi-bagikan begitu saja produk terbaru Anda, sulit dibayangkan untuk mendapat revenue yang lebih besar. Tapi jika Anda member subsidi pada aksesoris dan membagikan gratis sebagai gimmick untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak, jauh lebih masuk akal. Atau mungkin yang bisa digratiskan adalah katalog, newsletter atau buku kecil tentang bagaimana memanfaatkan produk Anda secara maksimal.
Kedua: Gratis akan efektif jika sifatnya massal
Libatkan crowd yang besar. Karena dengan biaya yang sudah
ditetapkan, maka semakin besar pelanggan terlibat, biaya per pelanggan
akan semakin kecil hingga nyaris nol. Membagikan software
gratis kepada 100 orang atau 1 juta orang akan sangat berbeda. Maka
Canonical dengan Ubuntu-nya rajin mengirim CD gratis. Dalam ekonomi
digital eksistensi produk kita di pasar akan sangat tergantung pada
atensi dan reputasi. Gratis adalah senjata untuk mencapai dua hal
tersebut.
Dengan perasaan puas, aya menutup buka bersama dengan pengusaha
senior yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Beliau menceritakan
dengan detil “resep rahasia” menggratiskan layanan IT beliau dan tetap
memperoleh revenue dari tempat lain. Sebelum kami berpisah,
beliau mengucapkan kalimat: “Oh ya, kalau semua sudah gratis, gratis pun
jadi kuno. Harusnya pelanggan gak usah bayar, malah dibayar!” Waduh ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar