Senin, 22 April 2013

Gratiskan Jualan Anda !

 Oleh: Fauzi Rachmanto - UKMSukses.com


“Cara jualan kamu kuno!” demikian kata seorang pengusaha senior kepada saya ketika kami sedang berbuka puasa bersama bulan Ramadan lalu. Saya tergagap. Wah, baru kali ini ada yang mengatakan demikian tentang model bisnis saya. Tapi berhubung beliau jauh … jauh … jauh … lebih berpengalaman dibanding saya, dengan usaha yang skalanya ratusan kali lipat usaha saya, saya tidak punya pilihan lain selain mendengar kritikan beliau. Saya menahan nafas menunggu kalimat beliau berikutnya.

Beliau menambahkan, “Kalau kamu bisnis IT, nyuruh pelanggan beli produk, itu bisnis jaman dulu.”
Saya mulai paham. Karena beberapa pelanggan saya ada yang memang menggunakan pola pembayaran bulanan atau sewa. Tidak mau kalah saya langsung berkomentar, “Kalau sewa atau bayar biaya bulanan bagaimana Pak?”

Beliau menjawab, “Itu lebih baik. Tapi itu sekarang juga sudah kuno!”

Nah ini bikin saya kaget lagi, “Yang gak kuno gimana dong Pak?”

“Yang gak kuno itu kalau pelanggan gak usah bayar !”

“Nyaris saya lompat dari kursi. Gratis? Musti bayar gaji karyawan dari mana?”

Beliau hanya tertawa-tawa, membuat saya makin penasaran.

Seolah “Law of Attraction” bekerja keras untuk saya. Dua minggu kemudian tanpa sengaja saya nemu buku baru karya salah satu penulis favorit saya Chris Anderson, judulnya “Free: The Future of Radical Price.” Ya, pengusaha senior tadi ternyata benar! Masa depan ternyata ada pada harga nol, alias gratis. Pelanggan gak usah bayar.

Semua serba gratis

Tidak dapat disangkal, virus gratis memang sudah menjalar kemana-mana. Kita sekarang bisa dengan mudah mengakses internet di mal melalui infrastruktur hot-spot gratis. Saya menggunakan laptop dengan OS Linux Ubuntu yang dibagi-bagikan gratis oleh Canonical, mengetik dengan word-processor OpenOffice yang disediakan gratis oleh Sun Microsystem, menggunakan browser Firefox yang gratis, menggunakan layanan email gratis dari Google, chatting gratis melalui Yahoo Messenger dan mengakses jaringan seperti Facebook secara gratis. Malah kalau online-nya di bandara, kopi yang menemani saya online pun gratis, komplimen dari lounge yang disponsori penerbit kartu kredit yg saya pakai. Chris Anderson malah mengetik seluruh isi bukunya melalui aplikasi Google Docs, word processing gratis yang disediakan online oleh Google.

Tunggu. Kenapa yang gratis hanya layanan-layanan yang terkait dengan internet? Oh tidak. Di luar itu Anda juga dengan mudah menemukan produk atau layanan gratis atau sangat murah. Memang tidak semua sudah tersedia di negara kita. Beberapa tahun lalu, kalau ingin pasang antena parabola di rumah, kita harus membayar cukup mahal. Sekarang antena parabola “dipinjamkan” oleh provider layanan siaran TV melalui satelit. Modem bisa kita peroleh gratis jika kita berlangganan broadband. Hampir semua penerbit kartu kredit sudah menggratiskan iuran tahunannya. Low cost airlines telah merevolusi dan mempelopori penjualan tiket pesawat terbang sangat murah atau bahkan gratis. Di negara-negara maju, daftar produk gratis ini semakin banyak. Anda dapat memiliki ponsel dengan gratis, tentu dengan kontrak berlangganan tertentu. Memiliki laptop gratis, dengan berlangganan akses broadband. Singkat kata semua ada versi gratis nya, bahkan mobil gratis pun ada. Kalau majalah gratis sudah sangat biasa, Di Tokyo, malah ada toko yang menyediakan 5 barang gratis untuk setiap pengunjungnya, mulai dari lilin, mie instan, sampai krim wajah.

Makan siang gratis memang (pernah) ada

Anda tentu pernah mendengar ungkapan “tidak ada makan siang gratis.” Ungkapan ini sebenarnya berasal dari jaman koboi di Amerika Serikat. Pada waktu itu banyak saloon, tempat nongkrong orang Amerika jaman dulu, yang menyediakan makan siang gratis untuk menarik pengunjung. Makan siangnya memang benar-benar gratis. Tapi pengunjung harus bayar mahal untuk yang lain-lain, seperti minuman, permainan kasino, sewa kamar, dsb.

Bagi-bagi produk gratis juga awalnya dilakukan oleh King Gillette, pencipta silet cukur pertama di dunia. Jaman dahulu pria bercukur dengan pisau cukur lipat yang tidak praktis, harus sering diasah, dsb. Ide menggunakan pisau cukur super tipis yang tidak perlu diasah tapi dibuang jika sudah tumpul adalah ide baru yang awalnya sulit dipahami. Gillette pun membagikan secara gratis sebagai marketing gimmick produk lain, dengan harapan pengguna baru yang menyukai ide ini selanjutnya akan membeli. Misalnya, bekerjasama dengan bank, pisau baru Gillette dijadikan bonus bagi pembuka rekening tabungan. Dan Gillette benar, lambat laun pisau cukur Gillette dikenal dan kemudian mendunia hingga hari ini.

Jell-O, dessert paling popular di Amerika juga awalnya sulit untuk dijual. Peter Cooper, penemu makanan dari gelatin ini kesulitan memperkenalkan produk barunya. Baru setelah produk ini dipasarkan oleh jenius pemasaran dan orator Francis Woodward, Jell-O menemukan tempatnya di pasar. Woodward bukan membagikan produk ini secara gratis. Namun mencetak dan membagikan buku resep gratis untuk memberi ide kepada calon pelanggan, bahwa Jell-O sangat praktis dan dapat disajikan dengan berbagai variasi. Woodward yang membeli lisensi Jell-O hanya seharga $450 sukses besar.

Dari kelangkaan menuju keberlimpahan
 
Model gratis ala saloon, Gillette, dan Jell-O adalah model-model gratis abad lalu yang hingga sekarang masih sering digunakan. Namun, abad 21 telah menciptakan model bisnis gratis baru. Model bisnis yang digerakkan oleh kemudahan dan teknologi.

Plastik pada awalnya dirancang sebagai produk eksklusif. Riset dan produksinya memerlukan biaya mahal. Plastik juga lebih kuat dan tahan lama dibanding kayu. Jadi sudah selayaknya produk dari plastik dijual mahal. Namun kita lihat hari ini, plastik demikian berlimpah ada dimana-mana. Plastik pada akhirnya menjadi komoditas yang berlimpah dan murah.

Barang elektronik modern tumbuh pesat setelah transistor ditemukan. Pada awalnya transistor adalah barang langka yang mahal. Tahun 1961 harga 1 buah transistor adalah $10. Kurang dari 10 tahun harganya sudah tinggal 1 sen. Dan hari ini, sebuah microchip yang setara dengan 2 milyar transistor hanya dijual $300, atau 0.000015 sen per transistor. Hal yang sama terjadi juga untuk kapasitas penyimpanan disk dan juga bandwidth, yang semakin lama semakin murah. Inilah yang kemudian memicu revolusi digital yang mengubah cara pandang pengusaha dalam mencari revenue.

Ketika sebuah produk telah menjadi komoditi yang “terlalu murah untuk dihargai,” maka kita tidak lagi bisa mengandalkan harga produk sebagai sumber revenue kita. Harga sangat terkait dengan kelangkaan, sementara yang kita hadapi adalah keberlimpahan.

Gratis? Dari mana uangnya?

Menjalankan usaha memang tetap harus berorientasi pada profit, yang sumbernya adalah revenue dikurangi cost. Model bisnis gratis pada dasarnya melakukan kreativitas pada sumber revenue, bukan menghilangkan revenue. Jika semula revenue semata dari harga jual, maka dengan prinsip keberlimpahan, kita coba mencari revenue dari sumber lain. Beberapa model bisnis yang ada adalah:

1. Subsidi silang langsung
Ini model generasi pertama. Revenue dari sumber lain memberikan subsidi silang untuk item yang sengaja dibuat lost. Misalnya, gratis ponsel tapi bayar talktime. Gratis antena parabola, bayar biaya langganan. Gratis software, bayar hardware. Dan sebagainya. Termasuk model bisnis yang digunakan Canonical yang membagikan OS Ubuntu Linux secara gratis. Software-nya memang gratis, tapi jika perusahaan kemudian butuh jasa konsultasi, training dan implementasi Ubuntu resmi dari Canonical, perusahaan tersebut harus membayar mahal.

2. Subsidi Pihak Ketiga

Ini model bisnis yang digunakan radio, TV dan majalah gratis. Pelanggan gratis tapi pemasang iklan bayar. Digunakan juga oleh penerbit kartu kredit yang menggratiskan iuran, tapi memberikan charge yang mahal ke merchant. Diskotik juga menjadi pelopor model ini melalui program “ladies night.” Gratis untuk pengunjung wanita tapi pengunjung pria membayar.

3. Freemium

Ini model yang sering digunakan perusahaan konsultan dan teknologi informasi. Gratis untuk versi yang generik tapi membayar untuk versi premium. Bisa juga divariasikan dengan modul. Untuk modul terbatas gratis, modul yang lebih lengkap bayar. Gratis untuk konsultasi awal, bayar untuk jasa konsultasi yang lebih lengkap. Gratis untuk overview seminar, bayar untuk training yang lebih lengkap.

4. Non-monetary

Ini yang 100% gratis. Jasa yang diberikan sama sekali gratis. Imbalan yang diterima penyedia jasa adalah perhatian dan reputasi. Dan dengan reputasi yang semakin meningkat, dikenal dimana-mana, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendatangkan revenue. Musisi yang memberikan karyanya secara gratis dan memperoleh reputasi dan perhatian, dapat menghasilkan revenue dari konser-konser ataupun penjualan merchandise-nya.

Sebelum menggratiskan jualan Anda

Oke … oke, mungkin kedengarannya masih menakutkan untuk menggratiskan begitu saja jualan Anda. Memang ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum Anda menggratiskan jualan Anda:

Pertama: Sesuaikan dengan model bisnis yang ada sekarang


Anda harus analisa baik-baik dari mana sumber revenue Anda. Secara umum menggratiskan jualan Anda dimaksudkan untuk memperbesar revenue, bukan mengurangi revenue. Kalau Anda jualan baju dan membagi-bagikan begitu saja produk terbaru Anda, sulit dibayangkan untuk mendapat revenue yang lebih besar. Tapi jika Anda member subsidi pada aksesoris dan membagikan gratis sebagai gimmick untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak, jauh lebih masuk akal. Atau mungkin yang bisa digratiskan adalah katalog, newsletter atau buku kecil tentang bagaimana memanfaatkan produk Anda secara maksimal.

Kedua: Gratis akan efektif jika sifatnya massal

Libatkan crowd yang besar. Karena dengan biaya yang sudah ditetapkan, maka semakin besar pelanggan terlibat, biaya per pelanggan akan semakin kecil hingga nyaris nol. Membagikan software gratis kepada 100 orang atau 1 juta orang akan sangat berbeda. Maka Canonical dengan Ubuntu-nya rajin mengirim CD gratis. Dalam ekonomi digital eksistensi produk kita di pasar akan sangat tergantung pada atensi dan reputasi. Gratis adalah senjata untuk mencapai dua hal tersebut.
Dengan perasaan puas, aya menutup buka bersama dengan pengusaha senior yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Beliau menceritakan dengan detil “resep rahasia” menggratiskan layanan IT beliau dan tetap memperoleh revenue dari tempat lain. Sebelum kami berpisah, beliau mengucapkan kalimat: “Oh ya, kalau semua sudah gratis, gratis pun jadi kuno. Harusnya pelanggan gak usah bayar, malah dibayar!” Waduh ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar